A. permasalahan pokok
Ada 2 masalah besar yang di hadapi oleh
Indonesia adalah : keseenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Mennjelang
akhir dekade 1970-an, pemerintah sudah menyadari buruknya kualitas pembangunan yang
dihasilkan dengan strategi tersebut. Maka dari itu pada pelita III strategi
pembangunan diubah, tak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi. Tapi juga
peningkatan kesejah teraan masyarakat menjadi tujuan utama pembangunan. Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yaitu dengan program-program pemerintah yang bertujuan
untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Program tersebut antara
lain : Inpres Desa Tertinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan rumah
tangga, transmigrasi, pelatihan/ pendidikan, dll. Tapi, tiba-tiba krisis
ekonomi terjadi yang diawali krisis nilai tukar rupiahdan salah satu akibatnya
adalah jumlah orang miskin dan perbedaan (gap) dalam distribusi pendapatan
ditanah air membesar, bahkan jauh lebih burukdibanding sebelum krisis.
B. Hubungan
antara perrtumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan
Ada suatu korelasi positif antara laju
pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan
yaitu : semakin tinggi pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) atau semakin
besar pendapatan perkapita semakin besar perbedaan antara rakyat miskin dan
yang kaya. Jantti (1997) dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin
membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan dinegara-negara tersebut
dikarnakan oleh pergeseran-pergeseran demografi, perubahan kebijakan-kebijakan
publik.
Literature mengenai evolusi atau perubahan
kesenjangan pendapatan pada awalnya didominasi dengan memakai data lintas
Negara dan data deret waktu dari sejumlah survey/ observasi ditiap Negara. Simon
Kuznets mengemukakan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan
tingkat pendapatan perkapita yang membentuk huruf U terbalik. Hipotesis huruf U
terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori lewis mengenai perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Daerah pedesaan yang sangat padt pebduduknya
mengakibatkan tingkat upah disektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai
tenaga kerja dari pertanian ke industry tidak terbatas. Proses perpindahan
tenaga kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industry, perbedaan
pendapatan perkapita antara desa dan kota menjadi kecil atau tidak lagi ada.
Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam
proses transisi dari suatu ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan yaitu : pada
awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat
dari proses urbanisasi dan industrialisai, tetapi setelah itu pada tingkat
pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan
ketimpangan menurun, yaitu pada saat
ektor industry di perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga
kerja yang dating dari pedesaan (sector pertanian), atau pada saat pangsa pasar
pertanian lebih kecil didalam produksi dan penciptaan pendapatan.
C. Hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan
perkapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi
dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal
dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan ada pada
saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin
berangsur-angsur berkurang. Faktor lain adalah : derajat pendidikan tenaga
kerja dan struktur ekonomi.
Kemiskinan tidak hanya berkorelasi dengan
pertumbuhan output agregat atau PDB (produk Domestik Bruto) atau PN (Pendapatan
Nasional), tapi juga dengan pertumbuhan-output di sektor-sektor ekonomi seara
individu.
Dalam akhir 1990-an, term pertumbuhan yang
prokemiskinan (PPG), diiefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang membuat
penurunan kemiskinan yang signifikan.
Didalam literature muncul 2 pendekatan yaitu : pendekatan pertama memfokuskan
pada keyakinan bahwa orang-orang miskin pasti mendapatkan keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi walaupun tidak proposional. Pendekatan kedua fokus pada
percepatan laju petumbuhan pendapatan dari kelompok miskin lewat pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat dan dengan memperbesar kesempatan bagi rakyat miskin
untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan, yang hasilnya memperbesar laju
penurunan kemiskinan.
Hasil-hasil dari sejumlah studi mengenai
hubungan antara pertumbuhan ekonomi atau peningkatan output dan kemiskinan
menghasilkan suatu dasar kerangka pemikiran, yaitu efek trickle-down dari
peertumbuhan ekonomi dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja atau pengurangan
pengangguran dan peningkatan upah/ pendapatan dari kelompok miskin. Maka dari
itu ada mekanisme yang diperlukan untuk memfasilitasi trickle-down dari
keuntungan pertumbuhan ekonomi kepada kelompok miskin, pertumbuhan ekonomi
menjadi suatu alat yang efektif bagi pengurangan kemiskinan.
D. Beberapa
indikator kesenjangan dan kemiskinan
Untuk mengukur kemiskinan, ada tiga indicator
yang di perkenalkan oleh Foster dkk, yang sering digunakan didalam studi
empiris. Pertama, presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan
pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan. Kedua, menggambarkan
dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan Indeks Jarak Kemiskinan
(IJK). Ketiga, diukur dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKK). Selain itu para
peneliti tertarik pada dua factor lain, yaitu rata-rata besarnya kekurangan
pendapatan rakyat miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan
antara rakyat miskin. Yang berarti, factor-faktor lain tidak berubah, tambah
tinggi rata-rata besarnya kekurangan pendapatan rakyat miskin tambah besar gap
pendapatan antar rakyat miskin dan kemiskinan akan tambah besar.
E. Kesenjangan
dan kemiskinan di Indonesia
Tingkat kemiskinan antar Negara berbeda, itu
disebabkan oleh kondisi social, ekonomi, demografi, politik, kelembagaan, dan kebijakan
yang berbeda.
Di Indonesia dalam perriode 1990-an kemiskinan
meningkat akibat krisis ekonomi 1997/1998, dan peningkatan tersebut lebih besar
di perkotaan daripada di pedesaan. Hal ini dikarnakan oleh ekonomi perkotaan
yang didominasi oleh sektor-sektor nonpertanian yang sangat tergantung pada
impor, modal asing, dan hutang luar negri lebih dipukul oleh krisis tesebut
dibandingkan ekonomi pedesaan yang didominasi oleh sector pertanian yang lebih
tergantung pada sumber-sumber daya produksi dalam negri. Selain angka kemiskinan, ada sejumlah
indicator lainnya yang dapat digunakan sebagai proxy dari kondisi kemiskinan
disuatu Negara. Salah satunya, adalah tingkat kelparan atau jumlah anak yang
kurang gizi.
Pada awal orde baru tahun 1966, rata-rata pendapatan
massyarakat Indonesia hanya sekitar 50 dolar AS pertahun, dan lebih dari 80%
dari populasi hidup dipedesaan atau sector pertanian, yang kebanyakan adalah
petani kecil atau marjinal. Pada tahun 1969 pemerintah orde baru mulai
melaksanakan pembangunan dengan mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun
Pertama(Repelita I) dan sejak itu dengan kebijakan ekonomi terbuka, investasi
dan bantuan keuangan dari luar negri membanjiri Indonesia.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tersebut, pendapatan rata-rata perkapita di Indonesia mengalami suatu
peningkatan yang pesat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan
tersebut juga memberi suatu kontribusi yang besar terhadap pengurangan
kemiskinan yang terjadi tiap tahun selama periode orde baru. Selain tingkat
kemiskinan, ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membahas
kemiskinan di Indonesia, yaitu : kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan.
Semakin besar nilai kedua indeks ini disebuah Negara mencerminkan semakin
seriusnya persoalan kemiskinan dinegara tersebut.
Variasi dalam perubahan kemiskinan
antarprovinsi ini disebabkan oleh perbedaan antarprovinsi dalam banyak hal,
seperti laju pertumbuhan ekonomi dan sifatnya, struktur ekonomi, kondisi
infrastruktur, tingkat keparahan krisis yang dialami oleh ekonomi provinsi, dan
juga implementasi di tingkat provinsi dari program-program anti kemiskinan,
khususnya pada masa krisis, dari pemerintah pusat. Pemerintahan orde baru juga
bisa menjaga tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan tidak meningkat
secara berarti pada saat ekonomi mengalami pertumbuhan pesat.
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di
Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah
tangga dari survey Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan
(Proxy) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat.
Keberhasilan suatu pembangunan ekonomi tidak
dapat hanya diukur dari laju pertumbuhan output atau peningkatan pendapatan
secara agregat atau perkapita. Hasil dari upaya pemerintah selama orde baru
untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bisa dilihat pada perkembangan
perkembangan koefisien Gini sejak 1965 hingga 1999 dengan memakai data SUSENAS.
Secara teoretis, perubahan pola distribusi
pendapatan dipedesaan dapat disebabkan oleh factor-faktor berikut ini :
1.
Akibat arus
penduduk/ tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan yang selama orde baru
berlangsung sangat pesat.
2.
Struktur pasar
dan besarnya distorsi yang berbeda di perdesaan dengan di perkotaan.
3.
Dampak posif dari
proses pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut :
a. Semakin banyak kegiatan ekonomi da pedesaan di
luar sector pertanian yang menyebabkan bertambahnya jumlah kesempatan kerja
dipedesaan dan juga menambah pendapatan petani.
b. Tingkat produktivitas dan pendapatan riil
tenaga kerja disektor pertanian meningkat.
c. Potensi SDA yang ada di pedesaan semakin baik.
F. Pertanian
sumber utama kemiskinan
Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses
multidimensi, yang artinya kemiskinan disebabkan oleh banyak factor. Di
Indonesia kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat kaitannya dengan
kondisi sosial dipedesaan pada umumnya dan di sector pertanian pada khuusnya.
Sector terbesar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia selama ini adalah
pertanian. Penurunan daya serap pertanian terhadap pertumbuhan tenaga kerja
relative dibandingkan sector lain juga terjadi di banyak Negara lainnya, yang
merupakan salah satu cirri proses transformasi ekonomi yang terjadi seiring
dengan proses pembangunan ekonomi jangka panjang.
Penduduk disektor pertanian pada umumnya
selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber pendapatan utamanya dari
sector-sector lainnya. Mengenai keterkaitan antara pendapatan petani dan lahan
yang dimiliki/ kuasainya, tidak heran jika konferensi Internasional tentang
pembaruan Agraria dan pembangunan pedesaan atau ICARRD 2006 di Porto Alegre,
Brazil, mengeluarkan suatu kesepakatan bersama dari semua Negara peserta yang
menegaskan bahwa hanya dengan pengaturan kembali struktur agraria atau
penguasaan tanah, kemiskinan bisa diberantas dan sekaligus kedaulatan dan
kepasstian pangan bisa tercapai. Di dalam literature perdagangan Internasional,
pertukaran dua barang yang berbedadi pasar dalam negri dalam nilai mata uang
nasional disebut dasar tukar dalam negri.
Di Indonesia petani beras di dalam negri
mengalami persaingan yang sangat ketat, termasuk dengan impor. Karna beras
adalah makanan pokok, maka permintaan beras lebih dipengaruhi oleh jumlah
manusia dan pendapatan massyarakat, bukan oleh harga. Sedangkan dari sisi biaya
produksi, factor utama adalah harga pupuk, yang bagi banyak petani padi terlalu
mahal. Hal ini tidak terlalu disebabkan oleh volume produksi atau suplai pupuk
didalam negri yang terbatas, tapi oleh adanya distorsi di dalam system
pendistribusiannya.
G. Kebijakan
anti-kemiskinan
Kebijakan anti-kemiskinan dan distribusi
pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari
lembaga-lembaga dunia.
Pada ttahun 2000, Bank Dunia muncul dengan
suatu kerangka kerja analisis yang baru untuk memerangi kemiskinan yang di
bangun di atas tiga pilar, yaitu : pemberdayaan, keamanan, dan kesempatan.
Menurut ADB (1999), ada tiga pilar dari suatu strategi penurunan kemiskinan,
yaitu :
1.
pertumbuhan
berkelanjutan yang pro-kemiskinan
2.
pengembangan
social yang terdiri atas pengembangan SDM, modal social, perbaikan status dari
perempuan, dan perlindungan social
3.
manajemen ekonomi
makro dan pemerintahan yang baik, yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan
dari dua pilarpertama
8 target yang harus dicapai yang salah satunya
fokus langsung terhadap permasalahan kemiskinan, yaitu :
1.
meniadakan
kemiskinan dan kelaparan ekstrem
2.
mencapai
pendidikan dasar secara universal
3.
meningkatkan
kesejahteaan jender dan memberdayakan wanita
4.
mengurangi
tingkat kematian anak
5.
memperbaiki
kesehatan ibu
6.
memerangi
HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya
7.
menjamin
kelestarian lingkungan hidup
8.
membentuk sebuah
kerja sama global untuk pembangunan
intervensi jangka pendek adalah terutama
pembangunan sector pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan. Intervensi
lainnya yang termasuk intervensi jangka pendek adalah manajemen lingkungan dan
SDA.
Sedangkan intervensi jangka menengah dan
panjang yang penting adalah :
1.
pembangunan/
penguatan sector swasta
2.
kerjasama
Regional
3.
manajemen
pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
4.
desentralisasi
5.
pendidikan dan
kesehatan
6.
penyediaan air
bersih dan pembangunan perkotaan
7.
pembagian tanah
pertanian yang merata
kebijakan anti kemiskinan di Indonesia
terefleksi dai besarnya pengeluaran dalam APBN untuk membiayai program-program
pemberantasan kemiskinan di tanah air. Pengeluaran untuk memberantas kemiskinan
diberikan dalam dua bentuk, yaitu : yang pertama dalam bentuk uang, subsidi
beras, pelayanan kesehatan dan gizi, dan pendidikan. Yang kedua, penciptaan
kesempatan kerja.
Referensi :
-
Perekonomian
Indonesia ( Dr. Tulus T.H. Tambunan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar